
Puisi ini merakamkan kekalahan manusia menghadapi maut. Maut itu suatu yang pedih dan menyedihkan. Manusia pula tidak berupaya untuk melawan takdir seolah-olah hati inu menjadi raja yang ‘bertahta’ dan menitahkan supaya menjalani rasa duka.Hal ini bertempatan dengan diksi yang mana perkataan ‘tuan’ digunakan untuk menunjukkan kuasa. Di sini, Chairil seakan menunjukkan ketidakrelaannya menerima kematian.
Dalam versi pertama, kehadiran ungkapan ‘untuk nenekanda’ merakamkan pengalaman peribadi Chairil mengalami kematian neneknya.
Setiap manusia akhirnya akan menghadap maut
-
Chairil melihat kepada dua perspektif
-
manusia tidak dapat melawan maut
-
keangkuhan tuhan mengambil nyawa tanpa memikirkan
-
Renungan CA terhadap Takdir
-
Keikhlasan nenek menerima takdirnya
-
kepasrahan seorang tua menerima segala nasib yang ditentukan kepadanya
NISAN
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.

RETORIKA
ESTETIKA
Perlambangan
Tajuk Nisan - Nisan merupakan lambang kematian
Tanda titik di akhir puisi - tiada tawaran dengan Tuhan mengenai kematian
Pemilihan Kata
debu - manusia akhirnya akan menjadi debu
Debu adalah serbuk halus yang berasal dari tanah, jadi berada di bawah, di dasar. Penyair tidak tahu apapun yang lebih tinggi dari tanah apalagi yang berada di paling atas yaitu Tuhan.
duka - menunjukkan kesedihan yang terlalu dalam
Perkataan Tuhan digantikan dengan ‘maha tuan bertakhta’ - semua keperitan yang dialaminya ini adalah disebabkan Tuhan yang berkuasa (bertakhta) - oleh sebab kekuasaan tuh